Selasa, 19 Januari 2021

Kepemimpinan Guru dalam Falsafah Jawa

 


Oleh : Dr. Mohib Asrori, S.Pd.I, MSI

Kriteria figur pemimpin yang tangguh dan ideal adalah sangat banyak dan komplek sekali. Namun dalam eksplikasi singkat dan sederhana ini hanya membatasi pada sebagian paparan kepemimipinan dalam falsafah Jawa. Seorang pemimpin dimungkinkan akan dapat melaksanakan tugas kepemimpinannya dengan baik, manakala dalam tugas dan kehidupannya sehari-hari menerapkan dan melaksanakan ”Dasa Ma atau Dasa M” (10 M) yaitu :

1. Manembah

Seorang pemimpin harus beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, beribadah menurut agama dan keyakinan yang dianutnya.

2. Momong

Seorang pemimpin harus selalu bertindak dan bersikap ”ing ngarso sung tulodho”, selain membina, membimbing dan mengarahkan, juga harus memberi suri tauladan lewat sikap dan perbuatan serta pola panutan bagi yang dipimpin. ”Ing madyo mangun karsa”, berada di tengah-tengah bergairah memberi semangat, dorongan (motivasi) untuk berswakarsa dan berkreasi kepada yang dipimpinnya. ”Tut wuri handayani”, memberi pengaruh dan dorongan dari belakang kepada yang dipimpin, agar berani berjalan dan tampil di depan dan sanggup serta berani bertanggungjawab.

3.Momot

Seorang pemimpin harus bersifat sabar dan tahan uji dalam menghadapi masalah. Peribahasa ”guru bengawan weteng segoro”, artinya harus mampu menyerap informasi, petuah-petuah, kritik dan saran yang bersifat membangun. Bersikap lapang dada bila dicela, dan tidak menjadi tinggi hati bila disanjung. Dengan kata lain peka terhadap aspirasi baik dari bawahan ataupun atasan. Tidak ”waton maido” (asal mencela), namun bila terpaksa demi perbaikan dan pembinaan ”maido mowo waton” (mencela dengan dasar dan memberi alternatif jalan keluarnya).

4. Momor

Seorang pemimpin harus mampu ”manjing ajer-ajer”, (mampu berdaptasi) baik dalam hubungan vertikal maupun horisontal. Ia harus terbuka terhadap suatu perubahan dan pembaharuan, sesuai dengan perkembangan zaman (dinamis). Namun demikian tidak boleh gegabah dan harus berhati-hati dalam menentukan dan mengambil keputusan serta sanggup berpendapat dan bertindak secara demokratis dalam berorientasi ke masa depan, dengan cakrawala pandang yang tidak sempit melainkan komprehensif.

5. Mursid

Seorang pemimpin harus ”landep penggraitone” (tajam pemikirannya dan berpandangan luas ke masa depan), tetapi ”ora cengkah karo jejering kautaman” (tidak menyimpang dari budi pekerti luhur dan utama). Dengan kata lain, seorang pemimpin tidak boleh memiliki kepribadian tercela, baik dipandang dari segi agama, norma maupun etika moral.

6. Murokapi

Seorang pemimpin keberadaan dan kehadirannya benar-benar dibutuhkan dan bermakna bagi yang dipimpin. Dengan kesadaran sepenuhnya, bahwa kedudukan, posisi maupun jabatan yang dibebankan kepadanya benar-benar diperoleh atas dasar penghargaan prestasi kerja. Loyalitas maupun kepercayaan dari masyarakat atau atasannya yang berwenang, sehingga atas dasar kepercayaan yang diterima, diharapkan dalam menjalankan tugas yang diemban akan lebih mengutamakan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi ataupun golongan dan dalam mengambil keputusan ”ora mban cinde mban ciladan” (dengan bijaksana bersikap adil berdasarkan ketentuan atau peraturan yang berlaku).

7. Mapam

Seorang pemimpin harus memiliki ketahanan mental dan ketahanan fisik yang kuat. Sarananya ”mugen telaten ing pakaryan ora mangru tingal gebyaring kahanan” (tekun dan ulet dalam berkarya dan bekerja, serta berpendidikan teguh). ”Temen lan tegen, ora mingkuh lan pakewuh, berbudi bawa leksana, manunggaling tekad lan pakarti mangreh ing panca ndriyo, lelandesan kawaspadan, teteken budi rahayu, pepayung ing kautaman”, dimana seorang pemimpin harus mampu mengendalikan diri dengan sikap waspada, berbudi pekerti luhur dan utama. ”Ora gumunan, ora kagetan lan ora umug” yang pengertiannya tidak mudah terpesona, tidak mudah terkejut, tetapi tanggap terhadap hal yang baru dan tidak menyombongkan diri.

 

 

 

8. Mituhu

Seorang pemimpin harus memiliki loyalitas yang tinggi terhadap Pancasila, UUD 1945, Peraturan Perundangan yang berlaku, atasannya, tugas dan pekerjaannya dengan penuh tanggungjawab.

Dengan berjiwa ”legawa”, ia akan loyal dan berdedikasi tinggi terhadap tugas yang diembannya dan bila saat manakala tugas yang diemban berakhir dengan kesadaran, kemauan, kerelaan dan ikhlas, akan menyerahkan tugas, tanggungjawab dan jabatan kepada generasi berikutnya. Namun tidak menutup kemungkinan apabila masih merasa mampu dan karena atas dasar kepercayaan dan keberhasilan, masih dibutuhkan tenaga dan fikirannya, diharapkan tetap loyal dan bersedia walaupun mungkin atas dasar pengalaman pahit dirasakan.

9. Mitayani

Seorang pemimpin bila ditinjau dari segi kualitas dan kuantitasnya harus dapat dindalkan kemampuannya. Ia harus dapat menjadi tempat berlindung maupun mengadu bawahannya atau yang dipimpin. Dengan strategi ”ambeg parama art”, secara bijaksana dapat mengambil keputusan menurut skala prioritas serta tepat dalam menjalankan tugasnya. Dengan prinsip ”gemi, nastiti, surti lan ngati-ati”, maka dengan kesadaran akan kemampuan untuk membatasi penggunaan dan pengeluaran segala sesuatu kepada yang benar-benar diperlukan sesuai dengan skala prioritas, planning yang telah dibuat.

10. Mumpuni

Seorang pemimpin harus memiliki kemampuan lebih dari bawahannya. Boleh jadi mungkin kelebihan di bidang pengalaman kerja atau prestasi maupun bidang lain. Dengan kelebihan seorang pemimpin dituntut memiliki kemampuan prima. Untuk itu harus cerdik, tangkas dan cekatan dalam berolah fikir. Dengan demikian ilmu pengetahuan yang dimiliki bukannya untuk mempersulit masalah, tetapi untuk memecahkan suatu masalah secara realistis dan obyektif.

Selain memiliki kemampuan tadi, ia juga dituntut bersikap praktis, tanggap dan terampil serta dapat mengaplikasikan lingkungan kerjanya sebagai pendukung tugas-tugas yang dilaksanakan. Dengan demikian seorang pemimpin harus mencerminkan tingkat kemahirannya maupun penguasaan displin ilmu yang dimiliki. Eksistensinya, pemimpin yang ideal harus kharismatik. Sebagai sarana adalah ”ora mung rumongso biso, nanging kudu biso rumongso” (jangan merasa bisa/ dapat, tetapi harus bisa/ dapat merasakan). Wujud dampak positifnya, eksistensinya sebagai pemimpin bukan ditakuti, melainkan disegani.

Kualitas prima seorang pemimpin akan tampak menonjol, apabila dalam tugasnya ia mampu sebagai motivator yang bersikap komunikatif, sarat dengan ide, penuh aktivitas dan kreativitas positif.

Sebagai pemimpin yang ideal, ia juga harus mampu mengintegrasikan fungsi administrasi, baik yang bersifat operasional. Dengan mengintegrasikan kedua fungsi tersebut dimungkinkan antara pelaksana bidang administrasi dengan realita dapat secara tepat dan sinkron, sehingga data yang sebenarnya benar-benar akurat dan akan mempermudah dalam hal peningkatan.

 

 

PENUTUP

Masih banyak kriteria sikap dan tindakan yang harus dimiliki oleh figur pemimpin yang tangguh dan ideal. Tetapi mungkinkah figur kepemimpinan seperti di atas benar-benar hadir di masa sekarang? Jawabannya tentunya terpulang dan tergantung kepada pribadi kita masing-masing.

Sebagai generasi penerus tentunya kita merasa terpanggil untuk mewujudkannya. Menyongsong era globalisasi, seiring pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi serta informasi, tampilnya tokoh panutan sangat diharapkan.

Eksistensi guru sesuai dengan profesi pengabdiannya sebagai pengajar, pendidik dan melatih anak didik ke tingkat kedewasaannya, mempunyai peranan penting dalam mewarisi nilai-nilai kepemimpinan kepada anak didik. Untuk itu diperlukan sikap tanggap dalam hal menanamkan nilai-nilai kepemimpinan dengan harapan bermunculan figur-figur pemimpin tangguh, ideal, handal dan berkualitas.

Dengan demikian pengabdian para ”pahlawan tanpa tanda jasa” yang dilandasi niat dan tujuan baik yang dibarengi dengan berbagai pemimpin yang siap dan mampu dan dapat melanjutkan perjuangan bangsa melalui kegiatan pembangunan di segala bidang untuk meningkatkan kesejahteraan kehidupan masyarakat.

 

 
Lisence by Mohib Asrori | Copright | 2020